JAKARTA ― Pilkada Jakarta adalah gambaran kisah David melawan Goliath. Dalam epos, cerita ini kerap direpresentasikan sebagai pertarungan antara mereka yang kerap dianggap lemah melawan kekuatan raksasa.
Namun dalam kisah itu, seorang anak gembala bertubuh mungil bernama David nyatanya berhasil menjungkalkan raksasa Goliath.
Kita tahu, di pilkada Jakarta, pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang diusung PDI-Perjuangan, berhadapan dengan pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diboyong koalisi raksasa bernama Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang berisikan 15 partai politik.
Tak cuma itu, sebagai warga Jawa Barat yang maju menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur Jakarta, mereka juga didukung Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Ketika masa tenang, bahkan sempat beredar surat yang diteken Prabowo. Dalam surat itu, Prabowo tak malu mengajak warga Jakarta agar memilih pasangan yang menyebut dirinya sebagai Rido itu.
Namun, rakyat Jakarta punya pilihan sendiri. Alih-alih mengikuti pilihan Prabowo dan Joko Widodo untuk mencoblos Ridwan Kamil-Suswono, di bilik suara, masyarakat malah berbondong-bondong memilih Pramono-Rano Karno.
Hasilnya sungguh luar biasa. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta menetapkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno sebagai pemenang pilkada Jakarta. Ketetapan tersebut didasarkan pada hasil rekapitulasi perolehan suara tingkat provinsi yang diraih calon gubernur dan calon wakil gubernur nomor urut 3 itu sebesar 2.183.239 atau 50,07 persen.
Sedangkan, posisi kedua ditempati pasangan nomor urut 1, Ridwan Kamil-Suswono yang mendapatkan 1.718.160 suara, kemudian disusul pasangan dari jalur independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang meraih 459.230 suara.
Dikepung koalisi gemuk, Pram-Doel, panggilan akrab keduanya, tak gentar. Bersikap tenang, mereka yakin tak berjuang sendirian. Terus bergerak menemui rakyat di kampung-kampung, keduanya menyerap segala keluh kesah mereka.
Di sisi lain, Pramono juga gencar menggalang kekuatan. Para tokoh bangsa, tokoh masyarakat, ulama serta pemuka agama terus mereka datangi. Begitu pula para dedengkot ormas serta kelompok suporter sepak bola Persija, The Jakmania. Semua dirangkul dan diayomi.
Pramono juga tak ragu bertemu anak-anak muda, mendengarkan dan menyerap aspirasi mereka.
Didukung tim solid dan relawan militan, pasukan itu bergerak serentak di darat maupun di udara. Tim darat, misalnya, langsung menuntaskan berbagai keluhan warga. Mereka mendatangi sekolah-sekolah yang dilaporkan masih menahan ijazah siswa, lantaran orangtuanya tak punya biaya untuk menebusnya.
Di sisi lain, program, visi, misi serta seluruh aktivitas Pramono-Rano Karno juga tak berhenti digemakan di media sosial. Alhasil, perpaduan gerakan darat dan udara itu tak sekadar memenuhi ruang hampa. Tapi menjadi orkestrasi gerakan nyata Jakarta menyala.
Dalam duel politik elektoral ini, bersatunya pendukung mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahokers) dan Anies Baswedan (Anak Abah), tentu tak boleh dilupakan. Dua kelompok relawan yang pernah berbeda dalam dukungan politik itu, kini bisa berada dalam satu barisan melepaskan sentimen yang pernah terjadi.
Seluruh pendukung Pramono-Rano Karno, yang bersatu dalam gerakan koalisi rakyat, telah menunjukkan semangat baja. Mereka berhasil menjungkalkan pasangan calon yang disokong penguasa, bekas penguasa, beserta para kelompoknya. (*)